Sekolah Rumah untuk Anak

OLEH SYARIFAH AINI,  Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe), melaporkan dari dari Banda Aceh

TAHUN ini bukan pertama kalinya kami memilih sekolah rumah (homeschooling) untuk anak, tetapi perasaan yang kami rasakan sama saja dengan saat pertama kalinya memutuskan pilihan ini.

Mindset sekolah rumah yang sudah bertahuntahun kami bangun, sering kali diuji dengan berbagai gugatan lingkungan. Ini memang terdengar konyol, tapi saya sendiri tak bisa memungkiri bahwa tinggal di lingkungan yang cukup “academic oriented”, sedikit-sedikit membandingkan hasil belajar di sekolah A, B, dan C, agak membuat saya gamang. Belum lagi hitunghitungan yang detail dan ujung-ujungnya saya merasa bahwa sering kali para orang tua seperti mengundi atau (maaf) berjudi mengenai memilih sekolah yang bagus untuk si buah hati, sesuai kantong dan bisa menerawang masa depan anak-anak dengan sekolah yang dipilih di masa kini. Apalagi saya memang langsung menghadapi realita sekolah formal yang banyak sekali problematikanya.

Saya ingin memberikan penafian (desclaimer) bahwa ini murni pengalaman pribadi saya, tak ada maksud menggiring semua opini bahwa sekolah formal itu tidak bagus, toh anak kami pun ada yang menuntut ilmu di sekolah formal. Namun saya pikir, mindset kita mengantarkan anak ke sebuah lembaga sekolah harus benar-benar disetel ulang. Terutama bahwa anak hanya bisa belajar jika diantarkan ke sebuah lembaga bernama sekolah. Bahwa sekolah mahal dengan fasilitas bagus dan tenaga profesional adalah tempat yang paling baik untuk anak-anak.

Padahal sebenarnya, kualitas belajar anak tergantung pada di mana dia bersekolah, kualitas adab anak tergantung seberapa kompeten guru sekolahnya mengajar, dan kompetensi anak adalah seberapa banyak presatasi akademiknya. Orang tua berhak menuntut guru dan sekolah tentang progres belajar anaknya. Orang tua juga boleh melepaskan pendidikan anak ke lembaga formal atau informal dan lainnya. Apalagi mengenai sekolah asrama.

Belakangan, ketika pandemi Covid-19, banyak orang tua yang anaknya baru usia SD sudah mencari- cari sekolah asrama. Mereka tetap memaksakan keinginannya pada anak karena merasa anak sudah di luar kendali. Anak harus dipaksa masuk dalam lingkungan yang dianggap aman, yaitu sekolah berasrama (boarding school). Dengan begitu, orang tua merasa lega telah lepas dari tanggung jawab mengawasi dan menyertai belajar anakanaknya. Orang tua bisa fokus cari uang untuk membiayai seluruh keperluan anak-anaknya. Sangat disayangkan keputusan tersebut sering kali tidak mempertimbangkan kesiapan anak itu sendiri.

Sebab, ada anak yang memang siap untuk menempuh pendidikan asrama dan sudah cocok jauh dari orang tua, ada pula anak yang belum siap secara psikis. Memang kehidupan asrama akan melatih kemandirian, tapi apakah kemandiriannya sudah dilatih bertahap di rumah? Pastikan anak tersebut siap. Apalagi dalam usia tamat SD itu belum semua anak sudah masuk usia balig.

Sebelum usia itu, mereka butuh pendampingan dan kasih sayang orang tuanya secara penuh. Prinsip orang tua bahwa uang bisa dicari dan anak harus belajar dengan sistem yang dikehendaki orang tua; orang tua yang paling paham apa yang terbaik; semua dipilihkan demi masa depan yang gemilang; semua demi kebaikan anak, tanpa peduli cara yang ditempuh, menurut saya, itu masih sangat kuno.

Pendidikan yang dengan bahasa lain dinamakan education (edukasi), artinya adalah mengeluarkan (edu), bukan menjejali anak-anak dengan hal-hal yang dianggap orang dewasa penting untuk masa depannya. Menurut saya, ruang dikusi harus dibuka selebarlebarnya mengenai masa depan yang melibatkan anak secara langsung.

Melaksanakan education, sejatinya mengeluarkan segala potensi yang dimiliki anak dan mengarahkannya dengan cara yang benar. Setelah unek-unek di atas, saya ingin kembali ke topik mengenai keputusan kami yang memilih sekolah rumah untuk anak ketiga kami, setelah yang pertama sempat bersekolah rumah juga ketika duduk di tingkat menengah.

Lalu, anak kedua ‘kekeh’ ingin bersekolah di lembaga formal, kini waktunya kami membuka diskusi dengan anak yang ketiga. Dia pun memang ingin juga bersekolah formal seperti teman-temannya. Jelang ujian masuk dibuka di sekolah- sekolah sekitar tempat kami tinggal, kami lakukan survei sekolah yang cocok. Memang tak ada yang sangat membuat kami lega, tapi ada beberapa yang masih cocok dengan visi misi keluarga kami. Lalu untuk alternatif, kami berdiskusi, kalau di tempat ini tidak lulus, apakah dia mau belajar bersama saya di rumah? Dia setuju setelah kami jelaskan apa dan bagaimana nanti kami bersekolah rumah.

Saya sangat menyayangkan, prosedur dan tes-tes akademik juga harus kami lalui bersama. Sesudah disibukkan dengan registrasi dan mengunggah berkas- berkas, anak kami pun harus mengikuti serangkaian ujian tes akademik. Teman-teman sebayanya sudah digenjot di TK untuk belajar persiapan tes SD, bahkan aku tercengang, ada pula bimbel untuk membantu persiapan ujian masuk tersebut. Usia anak kami belum genap tujuh tahun, anak kami kala itu masih mengenal huruf dan belajar menuliskan namanya sendiri, menarik garis, berhitung sederhana yang diajarkan bukan seperti cara-cara mengajar di kelas. Kami ingin memelihara curiosity atau rasa ingin tahunya, lalu melatih kemandirian, rasa percaya diri, dan keberaniannya.

Sekiranya tes yang dilakukan untuk sekolah formal tersebut adalah bagaimana memasak sarapan (roti bakar, telur dadar, memanggang tortila), mandi sendiri, melipat kain dan sajadah, makan tanpa berantakan, mencuci piring, membaca doa-doa yang sangat sederhana, berbagi, membantu bunda berbelanja di kedai, memesan menu makanan di warung atau kafe, menyapa orang yang baru ditemui, tentu anak kami itu akan lulus dengan nilai yang cukup baik. Namun sayangnya, tentu bukan itu serangkaian tes untuk masuk SD. Jadi, ketika tiba hari pengumuman, tak ada nomor ujiannya yang tiga digit itu muncul di daftar lulus. Ramainya pendaftar hingga ratusan.

Kami pun kembali ke rencana B untuk melaksankan sekolah rumah dan perasaan itu dimulai kembali. Saya dan suami beserta anak-anak yang sudah lebih besar, bersiap-siap untuk lingkungan baik bagi siswa baru di sekolah rumah kami. Yakni, anak ketiga kami. Dia lincah, suka bergerak, dan menurut tes para ahli dia juga menyandang disleksia ringan.

Related Posts

0 Response to "Sekolah Rumah untuk Anak"

Post a Comment